Sub Menu

Welcome

Selamat datang di Coretan YOKE ASTRIANI - saya senang Anda berada di sini, dan berharap Anda sering datang kembali.
Info

SELAMAT DATANG

Selamat datang di Coretan YOKE ASTRIANI - saya senang Anda berada di sini, dan berharap Anda sering datang kembali. Silakan Berlama - Lama di sini dan membaca lebih lanjut artikel-artikel yang saya susun. Ada banyak hal tentang saya, Anda mungkin akan menemukan sesuatu yang menarik

Sekilas Tentang 1701

Nama saya YOKE ASTRIANI, Saya Bukan Seorang Blogger, Desainer atau Apapun Tapi Saya Hanya Seseorang Yang Ingin Selalu Belajar dan Ingin Tahu Sesuatu Yang Baru...Terimakasih juga kepada DIAN BUDIANA yang telah mengajari saya membuat blog ini sehingga saya bisa sampai disini...

PENTINGNYA HARDSKILL DAN SOFTSKILL

"Soft Skills" Dalam Dunia Pendidikan

Ujian Nasional (UN) masih menjadi pemicu dalam masalah pendidikan kita, padahal kita sudah melaksanakan UN ini selama enam tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk dapat mengevaluasi dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Seyogianya kita belajar dan kemudian memperbaiki kesalahan yang sudah-sudah. Tetapi apa yang terjadi? Masih belum ada perubahan signifikan. Keprihatinan masih terus terjadi dan banyak diberitakan media. Dan yang menjadi titik sentral sorotan adalah guru yang menjadi korban suatu sistem yang dirasa masih salah. Selayaknya kita mulai membuka mata dan hati kita untuk kepentingan masyarakat dan bangsa yang kita cintai ini.
Seperti fenomena UN tahun 2009 ini, nilai UN di tingkat SD, SMP, dan SMA meningkat sangat tajam ke arah angka yang fantastis. Apakah hasil itu dapat mencerminkan pendidikan kita yang sudah sangat baik? Ada semacam kekhawatiran, pendidikan kita sudah bergeser fungsinya sehingga jauh dari apa yang kita harapkan.
Banyak faktor memengaruhi keberhasilan pendidikan dan banyak aspek yang harus kita lihat sebagai indikator keberhasilan pendidikan kita, di antaranya aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun, pendidikan di negera kita ini masih berorientasi pada pendidikan berbasis hard skills semata yang lebih bersifat mengembangkan intelligence quotient (IQ), kurang mengembangkan kemampuan soft skills yang tertuang dalam emotional intelligence (EQ) dan spiritual intelligence (SQ). Dalam implementasi kurikulum pembelajaran di berbagai sekolah bahkan di perguruan tinggi, pendidikan masih lebih banyak menekankan pada perolehan nilai hasil ulangan maupun nilai hasil ujian. Tidak mengherankan jika hanya UN yang sering dijadikan acuan dalam keberhasilan siswa, padahal ini sangat keliru.
Kita lihat lebih detail, apa yang dimaksud dengan hard skills dan soft skills. Hard skills merupakan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis yang berhubungan dengan bidang ilmunya. Sementara itu, soft skills adalah keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (interpersonal skills) dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intrapersonal skills) yang mampu mengembangkan unjuk kerja secara maksimal (Dennis E. Coates, 2006). Manakah yang paling penting di antara keduanya? Jawabannya keduanya sama-sama penting, yang memang tidak bisa dipisahkan untuk menuju kesuksesan karier seseorang.
Selama ini disinyalir terjadi kesenjangan antara dunia pendidikan tinggi dan dunia kerja. Perguruan tinggi memandang lulusan yang mempunyai kompetensi tinggi adalah mereka yang lulus dengan nilai tinggi, sedangkan berkompetensi tinggi dalam dunia kerja adalah mereka yang mempunyai kemampuan teknis dan sikap yang baik. Banyak kalangan industri mengeluhkan lulusan sekarang yang kurang memiliki soft skills seperti integritas, inisiatif, motivasi, etika, kerja sama dalam tim, kepemimpinan, kemauan belajar, komitmen, mendengarkan, tangguh, fleksibel, komunikasi lisan, jujur, berargumen logis, dan lainnya. Setiap profesi dituntut mempunyai hard skills yang khusus. Akan tetapi, soft skills bisa merupakan kemampuan yang harus dimiliki setiap profesi.
Dengan melihat fenomena tersebut, pendidikan yang hanya berbasiskan hard skills kini tidak relevan lagi. Sekarang, pembelajaran juga harus berbasis pada pengembangan soft skills. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skills), tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skills). Sering kita jumpai orang-orang yang sukses atau berhasil disebabkan lebih banyak didukung soft skills daripada hard skills.
Sebenarnya, dalam kurikulum KTSP berbasis kompetensi dituntut muatan soft skills. Namun, implementasi dari kurikulum tersebut tidaklah mudah, sebab banyak tenaga pendidik kurang paham dengan soft skills dan cara mengimplementasikannya. Hal ini disebabkan soft skills lebih mengarah pada ketrampilan psikologis. Oleh karena itu, dampak yang diakibatkan tidak bersifat kasat mata namun tetap bisa dirasakan. Keabstrakan kondisi itu mengakibatkan soft skills tidak mampu dievaluasi secara tekstual karena indikator-indikator soft skills lebih mengarah pada proses eksistensi seseorang dalam kehidupannya.
Beberapa universitas mengembangkan soft skills menggunakan berbagai pendekatan. Misalnya, program "mahasiswa unggul" atau "pengembangan kewirausahaan mahasiswa". Kini, saatnya stakeholder pendidikan mengembangkan pendidikan/pembelajaran berbasis hard skills dan soft skills. Hal ini sangat penting dan mendesak sebab di negara ini banyak orang yang pandai, tetapi sebagian pikiran liarnya hanya untuk memikirkan kepentingan pribadi dan membodohi rakyat. Dengan diterapkannya hard skills dan soft skills kelak akan menghasilkan generasi yang cerdas, jujur, berakhlak mulia, bermoral, beriman, bertakwa, berbudi pekerti, beretika, sopan santun, dan peduli terhadap sesama manusia maupun lingkungan.
Merupakan suatu anugerah yang tidak terkira, jika bangsa ini dipimpin dan dihuni orang-orang yang memiliki kecerdasan hard skills (IQ) dan soft skills (EQ dan SQ) yang mumpuni. Mari kita terapkan bersama pola pendidikan yang tidak mengabaikan soft skills. Ingat! Pendidikan garda terdepan merupakan kunci kesuksesan pembangunan bangsa dan negara. Pengembangan soft skills di dalam dunia pendidikan, mau tidak mau menjadi suatu keniscayaan. Dengan demikian, semua stakeholder dalam dunia pendidikan harus ikut serta dalam program pengembangan soft skills ini.***

Menjadi Pribadi Yang Utuh Dengan Menguasai Hard skill dan Soft skill

Pendidikan memiliki dimensi yang luas dan banyak mengisi ruang-ruang kehidupan manusia. Pendidikan dapat memasuki dari berbagai macam sendi-sendi kehidupan dari hal yang bersifat teoritik, konseptual sampai dengan praktik yang lebih khusus. Dalam ruang lingkup kehidupan sehari-hari pun kita senantiasa mendapati keberadaan ataupun pengejawantahan pendidikan, mulai dari keluarga sampai dengan lingkungan disekitar kita.
Keluarga menjadi tempat pertama dimana pendidikan ditanamkan, dan seorang anak manusia bersinggungan dengan pendidikan. Keluarga menjadi pondasi diletakkannya dasar-dasar pendidikan. Pondasi tempat bertumpu bangunan-bangunan pendidikan. Pendidikan yang tertanam kuat dalam diri seorang anak dari keluarganya akan dibawa dan melandasi proses pendidikan selanjutnya.
Proses pendidikan atau lebih tepatnya belajar tidak akan berhenti, tetapi secara berkelanjutan sampai sepanjang hayat seorang anak. Oleh karena itu haruslah dipersiapkan dengan dasar-dasar pondasi yang kuat, agar kelak diperoleh “bangunan” pendidkan yang kuat diatasnya. Sebagaimana sebuah rumah jika pondasinya kokoh maka bangunan diatasnya sekalipun dibangun bertingkat-tingkat akan tetap kuat. Tapi sebaliknya jika pondasi yang ditamankan lemah maka bukan tidak mungkin bangunan diatasnya akan mudah roboh.
Dahulu pondasi pendidikan lebih banyak diberikan oleh orang tua secara langsung, tapi sekarang hal tersebut berkembang dalam penanganan dan pengelolaan lembaga-lembaga publik. Terutama diperkotaan pendidikan keluarga yang dulunya dikelola oleh keluarga atau kerabat atau saudara yang bersifat privat mulai beralih pada ruang yang publik, seperti Pendidikan Anak Usia Dini, penitipan bayi plus dan sejenisnya. Pendidikan yang dikelola oleh lembaga-lembaga tersebut menjadi pilihan orang tua yang memandang penting untuk memberikan pondasi bagi anak.
Pendidikan yang diberikan kepada anak-anak sejak dini oleh lembaga-lembaga tersebut memberikan bekal kecakapan kepada anak, bagi pada kemampuan menggambar, mewarna (kecakapan teknis) sampai dengan kemampuan dan keberanian berinteraksi sosial dengan lingkungan yang lebih beragam. Selain itu pula sejak dini mulai ditanamkan kreativtas, kemampuan beradaptasi dan sikap mandiri yang menjadi tumpuan bagi anak untuk melangkah pada jenjang selanjutnya. Hasilnya adalah seorang anak yang memiliki kecakapan hidup yang dapat digunakan untuk menjawab persoalan dalam kehidupan bermasyarakat . Dengan kata lain, sejak dini sudah mulai ditanamkan semangat kecakapan hidup (life skill) kepada anak-anak.
Meskipun hanya kemampuan dasar yang dimiliki seorang anak, hal tersebut tidak mengurangi arti penting dan justru menjadi pendukung bagi seorang anak untuk lebih cakap dalam hidup. Brolin (1989) menjelaskan bahwa, “Life skills constitute a continuum of knowledge and aptitude that are necessary for a person to function effectively and to avoid interruptions of employment experience”. Menghadapi hidup yang tidak semata-mata dibutuhkan kemampuan tertentu, tetapi mensyaratkan kemampuan dasar dan secara fungsional seperti : membaca, menulis, sampai dengan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja, mempergunakan teknologi (Satori, 2002). Oleh karenalah life skill bisa dimaknai sebagai kecakapan untuk hidup.
Memang pendidikan kecakapan hidup (life skills) lebih luas dari sekedar keterampilan bekerja, apalagi sekedar keterampilan manual. Pendidikan kecakapan hidup merupakan konsep pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan warga belajar agar memiliki keberanian dan kemauan menghadapi masalah hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya.
Secara perkembangannya, life skill dapat dikelompokkkan dengan beberapa indikator yaitu kecakapan mengenal diri atau kecakapan individu, kecakapan sosial, dan keterampilan teknis vocational skill, dalam penerapan pembelajaran menurut Jecques Delor dilandasi dengan empat pilar pembelajaran yaitu, learning to know (belajar untuk memperoleh pengetahuan), Learning to do (belajar untuk bekerja), Learning to be (belajar untuk menjadi orang yang berguna) dan Learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain).
Tantangan dunia pendidikan, Menurunnya kemampuan (degradasi) dalam sendi pendidikan bukanlah hanya terjadi di Indonesia atau di negara-negara berkembang lainnya. Hal ini dibuktikan dengan studi secara mendalam oleh dua guru besar ekonomi, Richard J.Murname dari Harvard University dan Frank Levy dari MIT. Studi yang dilakukan di Honda of American Manufacturing (HAM) dan di Industri Motorola, hasilnya sebagaimana yang dimuat dalam bukunya ‘Teaching The New Basic Skills’ (1996). Didalamnya memuat bukti bahwa meskipun di Amerika Serikat kemampuan rata-rata matematik anak usia 9 tahun telah meningkat dari skor 219 pada tahun 1982 menjadi 230 pada tahun 1992, dan anak usia 17 tahun mempunyai skor 289 pada tahun 1982 menjadi 307 pada tahun 1992 untuk anak usia 17 tahun, tetap saja terjadi fenomena degradasi ijazah sebagaimana dikemukakan di atas.


Degradasi ijazah ini mengakibatkan penurunan imbal jasa tenaga kerja lulusan setingkat SMA pada masa kini dibandingkan dengan lulusan SMA pada masa lampau. Inti dari studi ini menekankan betapapun prestasi siswa ditingkatkan tetap saja akan muncul permasalahan yang disebabkan oleh lambannya gerak maju dunia pendidikan pada satu sisi dan semakin cepatnya pergerakan kemajuan ekonomi disisi lain.
Menurut dua guru besar tersebut yang diperlukan adalah bagaimana mempercepat kemajuan dunia pendidikan dalam arti yang utuh dan hakiki, lewat reformasi pendidikan yang mendasar sehingga memungkinkan pendidikan berkembang dengan cepat, tidak sekedar meningkatkan kemampuan daya serap materi pelajaran sebagaimana ditunjukkan dengan skor hasil tes. Ditambahkan oleh Murname dan Levy, diperlukan reformasi dalam dunia dengan menetapkan skill dasar yang harus dikembangkan pada diri setiap peserta didik. Skill dasar yang meliputi, pertama : The hard skills, yang mencakup dasar-dasar matematik, problem solving, kemampuan membaca yang jauh lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan yang ada sekarang ini. Kedua, The soft skills, yang meliputi kemampuan bekerja sama dalam kelompok dan kemampuan untuk menyampaikan ide dengan jelas baik dengan lisan maupun tulis. Selajutnya yang ketiga adalah kemampuan memahami bahasa komputer yang sederhana, seperti seperti word processor.
Pendidikan yang lebih menyeluruh dan utuh. Pendidikan pada hakekatnya diarahkan untuk membentuk sumber daya manusia yang seutuhnya. Walaupun pada imprementasinya lebih mengutamakan pada sisi kognitif dengan yang hasilnya dapat dan mudah diukur dengan perolehan NEM pada sistem evaluasi secara nasional, sehingga diketahui secara umum kemampuan peserta didik.
Jika kita memperhatikan bahwa tidak ada yang salah jika saran dari kedua guru besar di atas yang menekankan skill pada tiga aspek, yang tidak hanya pada sisi kognitif (hard skill), tapi juga soft skill (emosi, sosial). Dalam dunia pendidikan kita, sudah terbiasa melihat siswa yang memiliki NEM tinggi untuk suatu mata pelajaran itu tidak berarti siswa telah menguasai pelajaran tersebut secara utuh.
Demikian pula, asumsi yang melekat pada guru bimbingan dan konseling ditambah guru agama serta guru PPKN diasumsikan mengemban tugas untuk mengembangkan sosial dan emosi siswa, sedangkan, guru-guru mata pelajaran yang lain,seperti matematika, fisika, ekonomi, bertugas untuk mengembangkan intelektual siswa.
Pecahan-pecahan dua hal ini menjadi sesuatu serpihan yang tidak menyatu secara utuh pada diri siswa. Jadi, tapa bermaksud untuk membuat kesimpulan akhir dari semua proses dalam tantangan pendidikan kita, bahwa yang semestinya secara hakekat peran pendidikan untuk mencetak pribadi yang utuh belum terwujud.
Oleh karena itu perlu integrasi antara aspek kognitif dan emosional yang menekankan pada peranan konteks sosial dan hubungan antar pribadi, dimana proses di sekolah dikaitkan dengan proses yang terjadi diluar sekalah. Baxter Magolda (dalam Knowing and Reasoning in College: Gender-Related Patterns in Students’ Intellectual Development, 1995) menekankan bahwa ketiga aspek pendidikan tersebut, intelektual, sosial dan emotional harus merupakan satu kesatuan yang terintegrasi. Goleman dalam buku ‘Emotion intelligence’ (Sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gramedia, 1995) juga menekankan betapa proses learning sangat ditentukan oleh emosi, yang dapat merangsang motivasi.
Pribadi holistik yang cakap dalam hidup, Untuk mengembagkan diri sudah bukan barang tentu suatu proses yang memerlukan keaktifan dari pesrta didik dalam proses belajar dan guru bukan lagi sebagai sumber tunggal. Dominasi guru melalui ceramah yang menuai banyak kritik melahirkan ide teori pendidikan pembebasan oleh Fraire. Teori Construktivist oleh Brook dan Brooks, Cultural Perspective oleh Rhoads dan Black, Collaborative Learning oleh Bruffee. Dengan teori Teori-teori pembelajaran baru ini dimaksudkan untuk menyempurnakan proses belajar mengajar yang bersifat monolitik dan steril dari peristiwa-peristiwa yang berlangsung di luar sekolah, sebagaimana yang dipraktekan di dunia sekolah dewasa ini, dengan memasukan unsur-unsur realitas sosial dan emosi dalam proses pembelajaran.
Dengan masuknya unsur baru yang lebih memdekatkan peserta didik dengan realitas yang dihadapinya, melalui pengalaman yang di peroleh secara langsung dan mencari solusi terhadap problem yang dihadapi dalam keseharian menjadikan peserta didik lebih siap dan cakap dalam hidup dan mampu mengembangkan diri dengan aktif dan kreatif menjadi pribadi yang utuh.
Peran lembaga pendidikan Teori Pembebasan Freire menekankan pada prinsip bahwa sistem budaya masyarakat merupakan sumber kekuatan warga masyarakat dimana warga masyarakat itu hidup. Dan peran guru dalam teori ini adalah menyediakan wahana belajar yang kondusif yang memungkinkan peserta didik untuk berproses dalam belajarnya dan bertanggung jawab dalam proses tersebut. Dengan demikian siswa mampu memperoleh pemahaman yang tidak saja dapat diterapkan dalam ruang kelas tapi juga menjawab persoalan diluar sekolah.
Teori Constructivist membantu siswa untuk menjadi pribadi yang secara aktif dan mandiri dengan pemahaman yang terintegrasi dan mampu mencari solusi persoalan dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang penting. Dalam pekembangannnya teori ini menjadi sebuah teori pembelajaran yang efektif. Dengan pembelajaran yang kolaboratif, memadukan aktivitas intelektual, sosial dan emosional (hard skill dan soft skill) secara dinamis baik pada guru maupun siswa. Dengan demikian pencarian dan pengembangan pengetahuan adalah proses aktivitas sosial, dimana siswa sebagai pelaku utamanya.
Untuk itu peran lembaga pendidikan sangat diperlukan guna mengeser kultur pembelajaran yang lebih banyak didominasi guru, dan mengarahkannya untuk mengembangkan budaya pembelajaran yang utuh, yang didalamnya mengemban amanat untuk melaksanakan dan mengembangkan visi pendidikan yang jelas, melibatkan siswa dalam proses pembelajaran, mengembangkan masyarakat pembelajaran, menjadi pelopor munculnya iklim belajar di manapun juga, dan secara sadar mengembangkan proses sosialisasi profesional baik di kalangan guru ataupun siswa.
Dengan demikian, perubahan dan pengembangan pendidikan diarahkan untuk meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar, menciptakan lingkungan yang mendorong siswa untuk ambil peran, mendorong dan menghargai inisiatif siswa, dan memberikan insentif bagi keterlibatan siswa. Sehingga siswa memiliki kematangan baik Hard skills maupun soft skilsl (Kematangan intelektual, sosial, dan emosi)

0 komentar:

Posting Komentar